![](https://pkgm.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1080/2025/02/2025-PKGM-Artikel-Santan-825x464.png)
Makanan bersantan merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari banyak masakan tradisional, terutama di negara-negara Asia Tenggara. Santan, yang diperoleh dari perasan daging kelapa, memiliki kandungan lemak jenuh yang tinggi, sekitar 90–92%. Namun, kandungan asam lemak jenuh pada santan sangat berbeda dengan asam lemak jenuh produk hewani dan susu.
Asam lemak pada produk hewani merupakan asam lemak jenuh rantai panjang (long-chain fatty acid) yang dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Sebaliknya, asam lemak pada santan terdiri dari asam lemak jenuh rantai sedang (medium-chain fatty acid), yang lebih mudah diserap dan diolah oleh tubuh. Namun, makanan bersantan sering kali dipanaskan berulang kali, baik saat proses memasak maupun saat akan disajikan kembali. Hal ini memunculkan kekhawatiran terkait potensi bahaya atau efek kesehatan yang mungkin timbul, terutama pada kandungan gizi dan pembentukan senyawa berbahaya.
Asam lemak jenuh rantai sedang pada santan diabsorpsi di usus dengan cepat tanpa menggunakan enzim lipase dari pankreas. Salah satu jenis asam lemak jenuh pada santan adalah asam laurat, yang diketahui dapat meningkatkan kadar High-Density Lipoprotein (HDL) sekaligus menurunkan kadar Low-Density Lipoprotein (LDL). Oleh karena itu, santan dapat bermanfaat untuk meningkatkan kadar HDL dalam tubuh.
Namun, ketika santan dipanaskan berulang kali, terjadi oksidasi lemak, yang mengubah sebagian asam laurat menjadi asam lemak bebas. Proses oksidasi ini menghasilkan radikal bebas dan senyawa berbahaya yang dapat merusak sel-sel tubuh serta meningkatkan risiko penyakit jantung. Senyawa berbahaya seperti aldehida dan keton dapat terbentuk, yang diketahui memiliki efek merugikan pada kesehatan, termasuk risiko kanker jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Penelitian oleh Hartatai (2018) menunjukkan bahwa makanan tradisional khas Palembang yang menggunakan santan, seperti Laksan, mengalami perubahan signifikan pada asam lemak bebas, protein, dan karbohidrat selama proses pemanasan. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemanasan, kandungan protein dalam santan berkurang, sedangkan kadar asam lemak bebas meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan ulang tidak hanya memengaruhi rasa dan tekstur makanan, tetapi juga kualitas kandungan gizinya.
Studi oleh Kusumawati (2019) menyebutkan bahwa pemanasan dan pendinginan santan menghasilkan pati tahan cerna (resistant starch), yaitu pati yang tidak dapat dicerna tubuh. Pati ini akan difermentasi oleh bakteri di sekum, menghasilkan gas dan asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acid). Salah satu produk fermentasi ini, propionat, diketahui dapat menghambat enzim HMG-CoA reduktase, yang berperan dalam sintesis kolesterol. Meskipun ini bisa menjadi efek positif, pengurangan kualitas protein dan pembentukan senyawa oksidasi tetap menjadi perhatian ketika mengonsumsi santan yang telah dipanaskan secara berulang.
Sampai saat ini, penelitian terkait pengaruh santan terhadap kadar kolesterol tubuh masih terbatas. Studi oleh Shafira (2021) menunjukkan bahwa pemberian santan, baik yang dipanaskan berulang kali maupun tidak, tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kadar kolesterol darah pada mencit jantan. Namun, penelitian ini juga mencatat adanya peningkatan kadar kolesterol yang mungkin dipengaruhi oleh faktor usia dan kurangnya aktivitas fisik. Penelitian pada manusia diperlukan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas untuk melihat efek secara langsung pada kolesterol darah. Beberapa ahli menyarankan bahwa, konsumsi santan yang dipanaskan berulang kali sebaiknya dibatasi, terutama bagi individu yang memiliki risiko penyakit kardiovaskular.
Walaupun dampak pemanasan ulang santan terhadap kesehatan belum dapat dipastikan sepenuhnya, proses ini diketahui dapat mengurangi kandungan gizi seperti protein dan meningkatkan kadar asam lemak bebas. Proses oksidasi lemak juga menghasilkan senyawa berbahaya yang dapat berdampak negatif pada kesehatan jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penting untuk, membatasi pemanasan ulang makanan bersantan, memilih metode memasak yang lebih sehat untuk menjaga kualitas gizi makanan, mengonsumsi santan dalam jumlah moderat sebagai bagian dari pola makan seimbang serta menyimpan makanan bersantan dengan cara yang tepat untuk meminimalkan kebutuhan pemanasan ulang.
Referensi :
- Ahotupa, Makku. 2024. Lipid Oxidation Products and The Risk of Cardiovascular Diseases: Role of Lipoprotein Transport. Antioxidants, 13, 512.
- Hartati, Yuli, et al. Effect of Temperature and Heating on Chemical and Proximate Characteristics of Laksan Sauce as a Palembang Traditional Food. Pakistan Journal of Nutrition
- Shafira, Ghinada Rasfuy. 2021. Pengaruh Pemberian Santan yang Dipanaskan Secara Berulang Terhadap Kadar Kolesterol Darah Mencit Jantan. Skripsi, Universitas Jember. Jawa Timur.
- Kusumawati,et al. Protensi Tepung Pisang Uter (Musa Acuminata) Sebagai Pangan Fungsional untuk Menurunkan Kolesterol. Buletin Penelitian Kesehatan. 47(4) : 275 – 282.
Kontributor : Ulfi Rahma Yunita, S.Gz, M.Gizi